Sabtu, 06 Juni 2015

Manusia dan Keadilan

"Rindunya"

 Di sekolah Kamis sore pukul setengah enam, Aku berjalan di malam hari dari masjid menuju lapangan saat bulan puasa. Di kantin kutemui temanku Ojan, dengan kekasihnya Ica. Mereka menanyakan kepadaku tentang sesuatu yang pribadi. “Raf, apakah sekarang Kamu sedang dekat dengan seorang wanita?” ujar Ojan kala itu. “Oh, tidak, Aku tak sempat memikirkan itu” ucap diriku. Kebetulan Aku adalah orang yang aktif di organisasi Rohis, Aku sibuk dengan aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan hari besar umat Muslim. “Baiklah, kuberitahu bahwa sebenarnya ada seorang wanita yang suka padamu semenjak Dia Sekolah di sini” ujar Ojan. “Benar, Raf, Dia itu sudah lama mengincarmu walaupun Dia selama ini sudah berpacaran dengan banyak pria, namun hanya Kamu yang Dia sayangi”.

Aku hanya heran dan sama sekali tidak terkejut mendengar hal itu. “Namanya Lastri” tiba-tiba Ojan mengatakan itu. Benarkah itu? Apakah itu hanya lelucon? Aku terkejut. Mendengar itu ada perasaan senang dan tak percaya, tapi ada rasa benci terhadapnya. Dia itu adalah wanita yang aku tidak sukai, karena sikapnya terhadap pria. Dia telah mengecewakan teman dekatku, karena dia pernah pacaran dengan temanku, namanya Luki.

Lagipula, hari ini adalah waktu terbaik. SMA kami sedang mengadakan acara buka puasa bersama dan malam itu mungkin Lastri pulang naik angkot dan aku akan mengantarnya malam itu. Aku sempat meminta doa restu dari teman-temanku, karena malam ini aku akan mengungkapkan rasa yang sebenarnya tidak ada, namun entah mengapa keberanianku untuk menjadikannya kekasih semakin kuat. Ibarat sebuah gaya grafitasi yang mendorong ke dasar paling dalam. Hati ini tak sanggup menahan.

“Lastri, kamu pulang dengan siapa?” tanya diriku. “Eh, naik angkot sendiri” jawabnya dengan wajah menunduk ke bawah. “Apakah kamu mau aku antarkan?’ tanya diriku dengan penuh penekanan. “Boleh kak” jawabnya yang masih tertunduk. Malam itu acara sudah selesai. Saatnya kami pulang dan tak lupa mengajak Lastri untuk nai motor denganku.

Diperjalanan, aku mematikan motor dengan cara menutup kran bensin agar mengira bahwa motorku mogok. Kebetulan motorku adalah vespa putih. “Yaah, mogok” ucapku dengan nada penyesalan. Aku pindahkan motorku ke pinggir. Aku berpura-pura memperbaiki motor. “kenapa motornya? Maaf ya jadi merepotkan malam-malam” ujarnya dengan rasa menyesal. “Sebenarnya motor ini tidak mogok. Aku hanya ingin berbicara denganmu, malam ini” kataku. Dengan berani ku katakan “Kamu sebenarnya suka ya denganku?”. Mukanya yang tidak bisa disembunyikan, penuh dengan heran, kebingungan, dan keanehan kenapa bisa tahu hal itu.

“Aku mau kita pacaran, tapi aku tidak ingin seperti mereka yang hanya bisa katakan ‘lagi apa? Udah makan atau belum? Aku izin dulu ya mau main.’ Menurutku hubungan seperti itu yang biasa saja. Aku juga tidak melarangmu untuk bermain dengan siapa saja, itu hak kamu, kebebasan kamu, dan diri kamu. Aku tidak berhak untuk ikut campur. Kamu boleh bertindak semau dirimu, asalkan kamu bisa menerima akibatnya, dan......”. Belum selesai aku teruskan, Lastri langsung menjawab “Ya! Aku mau, Rafi”. Dengan itu kulanjutkan perjalanan sampai ke rumahnya dengan perasaan gembira.

Manusia dan Tanggung Jawab




" Anak Pemalas"

 Ada seorang anak , Ia adalah anak tunggal dari kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya sibuk bekerja, dan cenderung memanjakan anaknya dengan fasilitas yang mewah sehingga anak ini tumbuh menjadi anak yang manja, malas, dan pintar berbohong. 

Suatu hari sang Ibu menyuruh Ia membereskan kamar tidurnya sendiri, tetapi Ia menjawab “ aaaahhh Ibu kenapa harus Aku yang membereskan kamar , sudah ada bibi ko yang membereskan jadi Aku tak perlu repot-repot untuk membereskan kamarku”. 

Ayah dan ibunya sangat sedih dan kecewa melihat sikap anaknya yang seperti ini. Kemudian ayah dan ibunya berpikir untuk memberi pelajaran hidup kepada anaknya  agar anaknya ini tidak bersikap seperti apa yang ayah dan ibunya tidak inginkan. 

Dengan kesepakatan bersama,  uang saku yang biasa Ia terima setiap hari, Pagi itu tidak diberikan oleh kedua orangtuanya. “ mengapa ayah tidak memberiku uang saku? Mau aku mati kelaparan disekolah ya? “ sambil tersenyum ayahnya menjawab “ untuk apa uang saku nanti juga bakalan habis”!
Di saat sarapan pagi ia duduk dimeja makan dan tidak terdapat makanan tersedia. Ia pun kembali protes “ bu, aku lapar, mana makanannya? Aku ini lagi buru-buru mau kesekolah!!”  Lalu ibunya menjawab “ untuk apa makan , nanti juga bakalan lapar lagi”. 

Lalu Ia berangkat kesekolah tanpa uang saku dan perut yang kosong. Seharian disekolah Ia merasa tersiksa tidak bisa konsentrasi belajar karena perut yang kosong akibat tidak sarapan, dan Ia merasa bahwa kedua orangtuanya tidak menyayanginya lagi. 

Pada malam hari, ibunya berkata” anakku, saat makan malam tiba, kita harus menyiapkan makan malam di dapur. Setelah itu ada tanggung jawab kamu untuk membersihkan perlengkapan yang kotor. Tidak ada alasan untuk tidak mengerjakannya dan akan terus seperti itu selama kita hidup. Hidup adalah rangkaian tanggung jawab, setiap hari harus mengulangi hal-hal baik. Jangan mengelak tidak mau ngerjakan hal itu karena kemalasan kamu. Ibu harap kamu mengerti sama apa yang ibu bicarakan!”
Lalu Ia mengangguk-anggukan kepala sambil menjawab “ yaa ayah , ibu aku sekarang baru mengerti aku juga berjanji tidak akan mengulangi sifat burukku ini.


Manusia dan Keindahan



MAHARAJA

Seberkas kasih di lautan bunga
Terhampar mega di sore hari
Senandung alam membekas di hati
Lembayung mengisi kekosongan pikiran

        Melihat gunung berwarna biru
        Laut juga berwarna biru
        Melihat langit berwarna biru
        Air sungai pun berwarna biru

Sore sirna malam tiba
Kulihat indah menawan
Langit menghitam
Namun ditemani bintang yang berhamburan di cakrawala

        Sang maharaja telah tiba
        Mengisi keindahan setiap saat




Manusia dan Kebudayaan



SEMAI


Orang dan lamunan yang syahdu
Mengantar jiwa dan harmoni keindahan
Semerbak khas wangi bumi pertiwi
Putra dan putri bersahutan mendengar bunyi tabuhan
Putra dan putri menari senang senyum mesra penuh canda

    Insan dua muda menatap lagi
    Betapa haus akan karya
    Betapa haus akan sunyi
    Sunyi musik terindah
    Bergerak menuju poros