"Rindunya"
Di sekolah Kamis sore
pukul setengah enam, Aku berjalan di malam hari dari masjid menuju lapangan
saat bulan puasa. Di kantin kutemui temanku Ojan, dengan kekasihnya Ica. Mereka
menanyakan kepadaku tentang sesuatu yang pribadi. “Raf, apakah sekarang Kamu sedang
dekat dengan seorang wanita?” ujar Ojan kala itu. “Oh, tidak, Aku tak sempat
memikirkan itu” ucap diriku. Kebetulan Aku adalah orang yang aktif di
organisasi Rohis, Aku sibuk dengan aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan
hari besar umat Muslim. “Baiklah, kuberitahu bahwa sebenarnya ada seorang
wanita yang suka padamu semenjak Dia Sekolah di sini” ujar Ojan. “Benar, Raf,
Dia itu sudah lama mengincarmu walaupun Dia selama ini sudah berpacaran dengan
banyak pria, namun hanya Kamu yang Dia sayangi”.
Aku hanya heran dan sama
sekali tidak terkejut mendengar hal itu. “Namanya Lastri” tiba-tiba Ojan
mengatakan itu. Benarkah itu? Apakah itu hanya lelucon? Aku terkejut. Mendengar
itu ada perasaan senang dan tak percaya, tapi ada rasa benci terhadapnya. Dia itu
adalah wanita yang aku tidak sukai, karena sikapnya terhadap pria. Dia telah
mengecewakan teman dekatku, karena dia pernah pacaran dengan temanku, namanya
Luki.
Lagipula,
hari ini adalah waktu terbaik. SMA kami sedang mengadakan acara buka puasa
bersama dan malam itu mungkin Lastri pulang naik angkot dan aku akan
mengantarnya malam itu. Aku sempat meminta doa restu dari teman-temanku, karena
malam ini aku akan mengungkapkan rasa yang sebenarnya tidak ada, namun entah
mengapa keberanianku untuk menjadikannya kekasih semakin kuat. Ibarat sebuah
gaya grafitasi yang mendorong ke dasar paling dalam. Hati ini tak sanggup
menahan.
“Lastri,
kamu pulang dengan siapa?” tanya diriku. “Eh, naik angkot sendiri” jawabnya
dengan wajah menunduk ke bawah. “Apakah kamu mau aku antarkan?’ tanya diriku
dengan penuh penekanan. “Boleh kak” jawabnya yang masih tertunduk. Malam itu
acara sudah selesai. Saatnya kami pulang dan tak lupa mengajak Lastri untuk nai
motor denganku.
Diperjalanan,
aku mematikan motor dengan cara menutup kran bensin agar mengira bahwa motorku
mogok. Kebetulan motorku adalah vespa putih. “Yaah, mogok” ucapku dengan nada
penyesalan. Aku pindahkan motorku ke pinggir. Aku berpura-pura memperbaiki
motor. “kenapa motornya? Maaf ya jadi merepotkan malam-malam” ujarnya dengan
rasa menyesal. “Sebenarnya motor ini tidak mogok. Aku hanya ingin berbicara
denganmu, malam ini” kataku. Dengan berani ku katakan “Kamu sebenarnya suka ya
denganku?”. Mukanya yang tidak bisa disembunyikan, penuh dengan heran,
kebingungan, dan keanehan kenapa bisa tahu hal itu.
“Aku
mau kita pacaran, tapi aku tidak ingin seperti mereka yang hanya bisa katakan
‘lagi apa? Udah makan atau belum? Aku izin dulu ya mau main.’ Menurutku
hubungan seperti itu yang biasa saja. Aku juga tidak melarangmu untuk bermain
dengan siapa saja, itu hak kamu, kebebasan kamu, dan diri kamu. Aku tidak
berhak untuk ikut campur. Kamu boleh bertindak semau dirimu, asalkan kamu bisa
menerima akibatnya, dan......”. Belum selesai aku teruskan, Lastri langsung
menjawab “Ya! Aku mau, Rafi”. Dengan itu kulanjutkan perjalanan sampai ke
rumahnya dengan perasaan gembira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar